Fahrul Abd. Muid
Penulis adalah Dosen IAIN Ternate dan Sekretaris ICMI Kota Ternate

Fahrul Abd. Muid Penulis adalah Dosen IAIN Ternate dan Sekretaris ICMI Kota Ternate

Halal bi Halal dan Pejabat Negara Otoriter

Oleh: Fahrul Abd. Muid (Dosen IAIN Ternate dan Sekretaris ICMI Kota Ternate)

            Halal bi Halal sebagai terminologi khas yang hanya dikenal di Indonesia. Jika dilihat dari struktur bahasanya, bahwa Halal bi Halal ini adalah murni bahasa arab yang terdiri dari tiga suku kata, yakni Halal, bi, dan Halal. Tapi orang arab sendiri tidak mengerti apa itu istilah Halal bi Halal ini dan didalam kamus bahasa arab tidak ditemukan kata Halal bi Halal itu sendiri. Karena memang itu merupakan terminologi khusus yang digagas oleh ‘ulama Indonesia yaitu Hadhratus Syaikh KH. Abdul Wahab Hasbullah sang Kiyai kedua sebagai pendiri organisasi Nahdlatul ‘Ulama (NU) setelah Hadhratus Syaikh KH.  Hasyim Asy’ari. Ternyata, KH Abdul Wahab Hasbullah adalah tangan kanannya KH. Hasyim Asy’ari. Jadi, KH. Abdul Wahab Hasbullah memiliki kreasi (ijtihad) yang sangat cerdas dalam mencetuskan terminologi Halal bi Halal yang kemudian berlaku istilah ini dari sejak dulu sampai dengan hari ini.

            Maka, makna Halal bi Halal itu pada intinya adalah shilaturrahim yaitu membangun hubungan atau memperkuat hubungan ukhuwwah (persaudaraan), sehingga apabila terjadi suatu perbuatan yang dilakukan oleh sesama manusia (hablumminannaas)dengan kesalahan yang sengaja maupun tidak sengaja, besar atau kecil kesalahan itu pada hari-hari kemarin, maka wajib hukumnya untuk di Halal-kan atau dimaafkan atau di nolkan dan/atau di zero-kan dalam hatinya masing-masing. Makna lainnya, bahwa Halal bi Halal harus dilakukan secara transparan dalam acara bermaaf-maafan (tashafahu) yang sangat kental dengan niat yang tulus (ikhlas) dalam membangun nilai-nilai insaniyyah (kemanusiaan) dengan sebenar-benarnya dalam hati sanubari kita masing-masing. Tidak ada lagi menyimpan yang unek-unek dalam hati kita ketika melakukan Halal bi Halal ini, bukan hanya kita berkata “saya maafkan anda” tapi dalam hatinya masih menyimpan rasa dendam kepadanya, jika kita masih menaruh rasa dendam kepada orang lain dalam hatinya, padahal kita sudah memberikan maaf dengan ucapan yang keluar dari mulutnya, maka percuma saja kita melakukan Halal bi Halal itu yang pada hakekatnya atau substansinya daripada Halal bi Halal itu tidak tercapai sama sekali.

            Jika terdapat dua orang Muslim yang tidak saling menyapa melebihi tiga hari, maka keduanya akan dilaknat oleh Allah Swt. Apalagi ada orang Muslim yang mengancam kepada Muslim lainnya dengan mengatakan, misalnya “saya bunuh anda atau saya celakan kamu” dengan bahasa mengancam, mengintimidasi, dan sengaja melakukan teror. Dan, kepada orang Muslim yang mengancam, meng-intimidasi, dan meneror itu, jika ia tidak cepat-cepat meminta maaf kepada seorang Muslim yang diancam itu, maka Allah Swt tidak akan memaafkannya. Sehingga yang terjadi adalah Allah Swt dan para Malaikat-Nya akan melaknat orang Muslim yang mengancam atau meneror itu. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Hadis Nabi Muhammad Saw, “Man rafa’a shilaahahu amaama wajhi muslimin la’anahu Allahu wa al-Malaaikatuhu” artinya, “Siapa saja yang mengancam atau meneror sesama orang Muslim dengan mengatakan “saya bunuh kamu atau saya habisi kamu” jika kamu tidak mengikuti keinginan saya, maka sebelum yang mengancam itu meminta maaf kepada seorang Muslim yang diancam itu, maka Allah dan para Malaikat-Nya akan melaknatnya”. Jadi, jangan sembarang untuk mengancam-ngancam sesama saudaramu dalam Islam, apalagi sampai benar-benar melakukan tindakan bom bunuh diri yang bukan hanya menewaskan dirinya sendiri, tetapi orang lain juga yang tidak bersalah harus ikut tewas dengan tindakannya itu. Singkatnya, bahwa mengancam saja sudah dilaknat oleh Allah dan para Malaikat-Nya, apalagi benar-benar dia melakukannya.

            Jika, ada orang Islam Indonesia yang melakukan kejahatan atau kekerasan di atas dunia ini dengan mengatasnamakan Islam, maka model kejahatan atau kekerasan itu merupakan sebuah tindakan kezaliman yang besar. Dalam QS. Al-Shaf: 7) “Siapa saja yang melakukan kejahatan atas nama agama Islam, maka tidak ada orang yang lebih zalim daripada orang itu”. Katakanlah para kelompok teroris itu. Maka, Halal bi Halal itu mengandung nilai-nilai al-insaniyyah (kemanusiaan) yang sangat mulia dan ia merupakan ciri khas, dan tipelogi (khoshoish, mumayyizaat) dari umat Islam Indonesia yang harus dilestarikan dan dipelihara ilaa yaumil qiyamah (sampai datangnya hari kiamat). Dan, Halal bi Halal ini merupakan sebuah ‘amal sholeh-budaya yang sudah melebur dengan agama yang sangat kuat ikatannya, sehingga susah untuk dilepas-pisahkan antara keduanya bagi umat Islam Indonesia. Tapi, yang dilarang dalam melakukan serimonial acara Halal bi Halal adalah tabdzir yaitu dengan cara menghambur-hamburkan anggaran dalam melakukannya. Maka, budaya atau tradisi ini sudah sangat mengakar di Indonesia hari ini yang tidak akan pernah hilang atau punah digilas oleh arus zaman, karena kita selalu melestarikannya, sehingga Islam Indonesia akan tampil menjadi Islam yang ramah (bukan Islam yang marah-marah), Islam yang sarat dengan nilai-nilai budaya atau tradisi, Islam yang moderat dan toleran, dan Islam yang benar-benar membawa Rahmat bagi umat manusia dan bukan Islam yang membawa malapetaka bagi alam semesta ini.

            Oleh karena itu, bahwa terjadinya kekerasan yang ada di Indonesia hari ini bukan merupakan bentuk watak aslinya atau orisinilitas bagi orang Indonesia. Maka kelompok teroris yang melakukan kekerasan atas nama agama Islam dengan tindakan mengebom itu wataknya sudah dipengaruhi oleh watak yang ada di Timur Tengah katakanlah wataknya orang Afghanistan. Karena pada hakikatnya watak orang Indonesia itu sangat kental dengan nilai-nilai budayanya atau tradisinya yang luhur dan berbudi pekerti. Sehingga, orang-orang Indonesia sangat menolak watak-watak yang sangat keras seperti itu. Jika, ada watak-watak kekerasan itu di Indonesia, maka pasti watak-watak itu adalah produk budaya asing yang masuk ke Indonesia. Karena, tidak ada Kiyai atau ‘Ulama Nahdlatul “Ulama (NU) yang ada di Indonesia yang mengajarkan tentang kekerasan dengan mengatas-namakan Islam. Justru, para Kiyai dan ‘Ulama NU di Indonesia ini dalam mengajarkan murid-muridnya (santri-santrinya) adalah tentang Islam yang ramah, damai, akur, saling gotong-royong, persatuan, dan persaudaraan sesama warga bangsa (ukhuwwah wathaniyyah).

            Karena Halal bi Halal yang substansinya adalah merawat hubungan shilaturrahim, maka hukumnya adalah wajib bagi umat Islam Indonesia, dan sebaliknya jika dengan sengaja memutuskan hubungaan shilatuurahim antar sesama orang Islam adalah hukumnya haram yakni sebagai dosa besar bagi umat Islam. Sehingga, tidak ada dosa yang lebih cepat dibalas oleh Allah Swt di atas dunia ini kecuali ada dua macam dosa, pertama, adalah dosa para pejabat negara yang hobinya menindas dan kejam (otoriter) terhadap rakyatnya, dan kedua, adalah dosa pemutus tali persaudaraan (orang yang memutuskan) hubungan shilaturrahim. Kedua model dosa ini akan cepat dibalas oleh Allah Swt di dunia ini, dan tidak sampai harus menunggu balasannya di akhirat nanti. Oleh karena itu, jika ada pejabat negara (Presiden, Gubenur, Bupati dan Walikota) di Indonesia yang suka menindas, dan sangat kejam (otoriter) dalam memanfaatnya kewenangannya terhadap rakyatnya, maka pejabat negara itu cepat atau lambat akan diberikan balasan yang mengerikan oleh Allah Swt di atas dunia ini tanpa harus menunggu pejabat itu mati.

            Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa sesuatu yang diperintahkan oleh Rasulullah Saw wajib bagi kita untuk melaksanakannya, dan sesuatu yang dilarang oleh Rasulullah Saw maka harus kita tinggalkan atau jangan kita melakukannya. Sehingga, disini lahirlah kaidah hukum dalam Islam, bahwa sesuatu yang tidak ada perintah dan tidak ada larangan, maka sesuatu itu boleh saja untuk dilaksanakan sampai adanya dalil yang melarang atau memerintahkannya. Misalnya, dalam urusan keduniaan, maka Nabi Saw mengatakan “Antum ‘alamu bi umuuri dunyaakum” bahwa kalian yang lebih mengetahui tentang perkara-perkara dunia kalian. Misalnya, dalam mempelajari ilmu pengetahuan umum seperti fisika, biologi, kimia, matematika, perbankkan, perikanan, kelautan, pertanian, dan ilmu pengetahuan lainnya, bahwa tidak ada dalil yang memerintahkannya dan tidak ada dalil yang melarangnya, maka hukumnya boleh saja bagi umat Islam untuk mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan ini.

            Pernah suatu ketika di Madinah para petani kurma hendak menamam pohon kurma yang caranya harus mengawinkan biji kurma itu antara jenis bijinya yang jantan dan betina, tetapi kata Nabi Saw kepada para petani kurma itu agar tidak perlu mengawinkan kedua biji kurma itu. Ternyata pohon kurma yang ditanam dengan cara tidak mengawinkan bijinya itu, maka akan tumbuh dalam keadaan rusak dan sama sekali tidak berbuah. Justru yang tepat adalah jika menanam kurma itu harus dilakukan dengan cara okulasi (perkawinan) antara bijinya yang jantan dan betina, maka pohon kurma akan tumbuh bagus dan pasti menghasilkan buah yang banyak. Oleh karena itu, hendaklah kalian melanjutkannya dengan cara okulasi (perkawinan) itu. Nabi Saw mengatakan, sebenarnya aku hanya berpendapat secara pribadi, oleh karena itu jangan kalian menyalahkanku karena pendapat pribadiku. Tetapi, jika aku beritahukan kepada kalian tentang sesuatu dari Allah, maka hendaklah kalian menerimanya, karena aku tidak pernah mendustakan Allah Swt.

            Berdasarkan pada konteks historisnya, bahwa hal ini berkaitan dengan teknis penyerbukan kurma yang tidak ada kaitannya dengan muatan-muatan keagamaan (perintah atau anjuran yang bersifat syar’i). Ungkapan Nabi Muhammad Saw tentang bagaimana menanam kurma itu tidak perlu dilakukan perkawinan pada akhirnya kurang tepat, dan berakibat buruk pada hasil pertanian kurma para petani saat itu. Maka, Nabi Muhammad Saw bersabda: “Kalian yang lebih mengetahui urusan dunia kalian”. Perlu diketahui bahwa Nabi Saw bukan ahli di bidang pertanian dan tanaman. Bahwa, Nabi Muhammad Saw dilahirkan di Mekkah yang saat itu lembahnya tandus dan sangat sulit untuk dimanfaatkan untuk bercocok tanam. Beda halnya dengan kondisi yang ada di Madinah yang memiliki tanah yang subur dan sangat cocok untuk menanam pohon kurma. Dan hari ini yang banyak terdapat tumbuhan pohon kurma itu ada di Kota Madinah, bukan di Kota Mekkah. Allahumma shalli ‘alaa sayyidina Muhammad wa ‘alaa aalihi sayyidina Muhammad. Semoga tulisan ini bermanfaat. Wallahu ‘alam bishshawab.

"post by agus k>"